Kisah Seorang Cina Campuran

I al san se u liu ci pa ciu se. I al san se u !iu ci pa ciu se. I al(1)
Aku terus mengulangi kata-kata itu dalam hatiku untuk mengusir rasa tegang sekaligus rasa bosan. Tegang karena aku harus interview kerja. Bosan karena menunggu giliran interview yang sudah molor dari jadwal. Tahu begini aku datangnya telat sekalian jadi tidak perlu menunggu lama begini.
Entah sejak kapan aku terbiasa untuk mengulangi deret hitung sederhana itu di kepalaku. Mungkin sejak aku tahu kalau aku bukan termasuk golongan orang Cina asli. Atau mungkin karena hanya deret hitung itu saja yang aku kuasai dari sekian banyak kosa kata bahasa Mandarin yang jumlahnya ribuan itu. Entah mana yang betul. Tapi untuk apa memperdebatkan sebabnya, bukankah lebih penting sekarang menatap ke depan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi sang interviewer.

‘Silakan duduk.’
‘Terima kasih, pak.’ Kataku sambil mengambil tempat di depan sang interviewer.
Sang interviewer membolak-balik beberapa dokumen yang ada di mejanya. Akhirnya dia menemukan juga berkasku di antara setumpkan berkas pelamar lainnya.
‘Nama Anda Andy Setiawan?’
‘Benar, pak.’
‘Hmmm.’
‘Anda melamar untuk posisi manager di perusahaan kami, boleh saya tahu apa saja rencana kerja Anda seandainya Anda diterima di perusahaan kami?’
‘Pertama-tama tentu saja saya akan mempelajari kebijakan peusahaan dan mengevaluasi kebijakan yang ada dan melakukan perombakan di bidang-bidang yang saya anggap kurang efisien.’
‘Bisa lebih spesifik?’ Cecar sang interviewer.
‘Misalnya, pak, untuk sistem shift…’
‘Pak Andy silakan masuk.’
Suara lembut sang sekertaris itu membuat Andy terbangun dari lamunannya.
‘Silakan, pak. Pak direktur sudah menunggu Anda.’ kata sang sekertaris itu lagi sambil tangannya menunjuk ke arah pintu jati yang tertutup rapat.
‘Balk. Terima kasih.’
Andy bangun dari duduknya. Melihat jam tangannya sekilas. Setengah jam lebih dia menunggu giliran untuk interview ini. Harus diterima. Batinnya.
Tarik napas panjang. Periksa pakaian. Rapih. Bagus. Map berisi berkas lamaran. Slap. Ok. Saatnya maju. Dengan langkah tegang Andy berjalan menuju pintu kayu jati itu dan mengetuk.
‘Masuk.’ Terdengar jawaban dari dalam.
Andy mendorong pintu kayu jati itu hingga terbuka dan masuk. Tidak seperti yang sering dilihat Andy di sinetron-sinetron kantor direktur itu tidak mewah. Tidak ada rak buku yang berisi ensiklopedia dari berbagai edisi dan bahasa. Tidak ada kulkas kecil di ujung ruangan. Tidak ada lukisan karya pelukis terkenal di dinding.
Yang ada di ruangan itu hanya sebuah meja yang dipenuhi tumpukan berkas sehingga menutupi telepon. Di balik meja duduk dua orang pria berjas. Keduanya hampir serupa. Kulit putih, berkacamata, mata sipit, hidung mancung, usia sekitar enam puluhan, rambut yang sudah putih agak botak di tengah sehingga memperlihatkan batok kepala yang licin.
Kedua pria itu adalah kakak beradik pemilik modal sekaligus pimpinan perusahaan tempat Andy melamar. Encek-encek(2).
Pikir Andy begitu melihat kedua pria itu.
‘Silakan duduk.’ Kata salah seorang dari kedua orang tua itu yang ternyata adalah sang kakak. Terima kasih.’ Kata Andy sambil mengambil tempat duduk di depan kedua orang tua itu.
‘Mau minum apa?’ Tanya sang adik.
Tidak terima kasih.’
Hening sejenak sementara sang kakak mengaduk-ngaduk berkas lamaran yang memenuhi meja di depannya sambil akhirnya dia menemukan berkas lamaran Andy.
Sementara itu Andy mengamati dengan seksama apa yang dilakukan pria tua itu. Tiba-tiba saja dia merasakan suatu sensasi perasaan aneh mengalir dalam dirinya. Deja vu. Tapi bagaimana mungkin dia belum pernah bertemu dengan kakak beradik pemilik perusahaan ini sebelumnya, dia juga belum pernah datang ke perusahaan ini sebelumnya. Dengan susah payah Andy berusaha mengingat dimana dan kapan dia pernah seperti pernah mengalami kejadian ini.
Akhirnya setelah berusaha dia bisa mengingat kejadian dan tempatnya.
Sebulan yang lalu aku disidang atau lebih tepatnya ditanyai oleh Om Halim - mantan calon mertuaku - kusebut mantan karena dia tidak menyetujui hubunganku dengan Aira - putri semata wayangnya.
Tempatku disidang persis seperti ini - di ruang kerjanya Om Halim. Seperti biasa Om Halim duduk di balik meja sambil merokok. Bajunya selalu rapih, setelan kemeja putih. Aku sudah berkeringat dingin duduk di depannya. Bayangan akan diinterogasi oleh calon mertua membuatku tegang. Rupanya Om Halim tahu kalau aku tegang makanya dia menawarkan rokoknya.
‘Makasih Om, saya tidak merokok.’ Tolakku sopan.
‘Bagus. Jangan. Memperpendek umur saja. Mau minum apa?’
‘Apa saja Om.’
‘Sebentar ya. Rud, Rud, bawain minum dua.’ Kata Om Halim pada pembantunya. ‘Jangan tegang gitu dong. Om kan nggak akan makan kamu. Om cuma mau ngobrol sama kamu.’ Kata Om Halim sambil tersenyum.
‘I…iya Om.’
‘Jadi, An, gimana kuliah kamu, udah selesai?’
‘Sebentar lagi Om, sekarang lagi skripsi.’
‘Nanti abis lulus kamu mau kerja di mana?’
‘Belum tau Om. Mungkin terusin usaha orang tua aja.’
‘Oh. Udah kerja aja sama om. Nanti om langsung promosiin kamu.’
‘Makasih Om.’
Diam sebentar.
‘An, jangan tersinggung ya. Kamu ini orang Cina kan?’
‘Iya Om.’ Aku tidak tersinggung dengan pertanyaan itu sudah beribu-ribu kali mungkin orang menanyakan pertanyaan itu padaku. Aku maklum kalau orang melihat penampilanku - rambut hitam, hidung mancung, tapi mata besar, kulit kecoklatan - pasti akan bertanya apakah aku orang Cina atau bukan.
‘Papa mama juga orang Cina?’ Cecar Om Halim lagi.
‘Iya.’
‘Asli?’ Tanya Om Halim lagi.
‘Mama totok. Papa orang Jawa asli.’
‘Begitu.’ Om Halim termenung sebentar. Sisa pembicaraan kami hari itu berkisar pada hal-hal umum seperti rencanaku setelah lulus kalau belum diterima kerja, kira-kira kapan menikah dengan Aira dan lain sebagainya.
Dan sekarang Andy merasakan perasaan yang sama seperti waktu itu. Tegang campur tidak perasaan tidak menentu.
Dengan hati-hati Andy menjawab semua pertanyaan yang diajukan dua kakak beradik itu. Dan sepertinya mereka berdua terlihat puas dengan jawaban Andy. Setidaknya hal itu yang Andy bisa tangkap dari raut wajah mereka dan hal itu sedikit melegakan hatinya.
‘Satu pertanyaan terakhir.’ Kata sang kakak. ‘Anda orang Cina kan?’
Deg. Andy tersentak. Apa hubungannya. Batin Andy.
‘Iya.’
‘She(3) apa?’ tanya sang adik.
Lo.’
‘Orang Ke ya?’
‘Iya.’
‘Ingat ya. Kamu itu she-nya Lo, orang Ke. Kalau ada orang yang tanya begitu jawabnya.’ Itulah pesan ibuku sewaktu aku masih kecil. Pesan itu selalu diulang sampai aku hafal tanpa aku pernah mengerti apa artinya.
Kedua kakak beradik itu saling berbisik dengan bahasa Cina. Tiba-tiba saja aku merasa tidak enak. Kenapa mereka harus berbahasa Cina di depanku? Apa mereka tahu kalau aku tidak bisa bahasa leluhurku itu? Atau apa mereka sedang membicarakan diriku?
Tiba-tiba sang kakak memandangku dan berbicara dengan bahasa Cina yang tidak kumengerti. Aku bengong. Tidak tahu harus menjawab apa.
‘Maaf.’ Katanya.
Aku yang harusnya minta maaf. Mengaku orang Cina tapi tidak bahasa Cina. Bahasa Cina yang kukuasai hanya hitungan satu sampai sepuluh, ni hao ma(4) ,Wo ai ni(5) mi yo cien(6) selebihnya wo pu yau(7)
‘Baik. Terima kasih atas kedatangannya. Nanti kami beri kabar dalam waktu dua hari ke depan.’ Kata sang kakak sambil menyalamiku.
Dua hari. Rasanya aku tidak perlu waktu selama itu untuk tahu apakah aku diterima atau tidak di perusahaan ini.
Dua hari. Om Halim juga membutuhkan waktu yang sama untuk memutuskan kalau aku tidak layak untuk Aira.
‘Papa nggak setuju kalau aku pacaran sama kamu.’ Begitu kata Aira.
Tapi kenapa, Ra?’ aku benar-benar tidak mengerti. Apa aku terlah menyinggung perasaan Om Halim dalam pembicaraan waktu itu.
‘Jangan marah, ya An. Tapi kata papa, kamu itu bukan Cina asli.’
Jadi itu masalahnya. Cuma karena aku bukan cungkuo jen(8) asli aku tidak pantas bersanding dengan Aira yang memang amoy - mata sipit, hidung mancung, kulit putih. Bagus!
‘Maaf, ya, An. Jangan marah ya.’ Kata Aira.
‘Nggak, Ra, aku nggak marah. Papa kamu benar. Aku memang tidak cocok buat kamu. Dadah.’ Aku membalikkan badan dan pergi meninggalkan Aira. Aku tidak mau mendengar apa alasannya. Sudah cukup!
‘Halo, dengan rumah Pak Andy?’ suara wanita itu segera dikenali Andy. Suara sekertaris di perusahaan tempatnya melamar. ‘Bapak ditunggu kedatangannya besok oleh pak direktur jam sembilan.’
‘Baik. Terima kasih.’
Sayangnya pembicaraan tersebut hanya terjadi dalam imajinasiku saja. Aku tidak pernah menerima telepon yang memberi kabar kalau aku diterima. Tidak pernah. Yah, sebenarnya aku sudah tahu sejak semula kalau perusahaan tempatku melamar itu hanya menerima dua jenis orang. Tenglang(9)untuk dijadikan kepala staff dan menempati berbagai posisi penting lainnya dan hwa na(10) sebagai staff biasa atau lebih parah lagi sebagai pesuruh. Terus bagaimana dengan aku yang tidak termasuk kedua golongan tersebut? Tidak ada tempat untuk orang sepertiku. Tidak ada tempat untuk orang yang setengah-setengah di dunia ini. Aku harusnya menyadari hal itu sejak dulu, tapi entah kenapa aku masih nekat juga melamar. Mungkin aku berharap dewi kwam iml(11) akan membuat keajaiban.
‘Dewi pasti membantu orang yang dalam kesulitan.’ Begitu kata ibuku waktu dia masih hidup. ‘Bagaimana caranya, Bu?’ tanyaku.
‘Ya, macam-macam. Misalnya ada orang yang lagi butuh pekerjaan, dikasih pekerjaan. Orang yang butuh rumah, tiba-tiba ada yang ngajak tinggal.’
Tapi ibu rupanya dewi sekalipun tidak menganggapku ada. Kalau dia memang seperti yang ibu ceritakan kenapa dia membiarkan aku terus menderita sampai sekarang?
‘Kenapa nggak coba ngomong ke Tante Akim?’ usul ayahku waktu tahu aku tidak diterima.
‘Mau apa kamu kemari?’ tanya tante Akim ketus begitu tahu yang membunyikan bel rumahnya temyata Andy.
‘Saya ada perlu sama tante.’ Jawab Andy sopan.
‘Ada perlu apa? Langsung aja.’
‘Begini. Saya ‘kan udah lulus kuliah tapi nggak diterima dimana-mana.’
Terus kamu kesini mau minta kerjaan gitu? Enak aja! Emang kamu pikir tante itu siapa? Presiden?’
Tidak. Tidak. Pembicaraan seperti itu tidak boleh terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Walaupun tante Akim adalah satu-satunya saudara ibu yang masih hidup, aku tidak akan mengemis padanya.
Aku masih ingat bagaimana tante Akim meprovokasi nenek dan saudara-saudara yang lain untuk tidak memasukkan nama ibu dalam surat warisan nenek.
Di ruang tamu nenek yang besar itu saudara-saudara sepupuku sedang asyik bermain di lantai. Mereka tampak Iucu dan menggemaskan: kulit putih yang akan besemu merah kalau mereka tertawa, ikat rambut yang akan berbunyi kalau mereka menggerak-gerakkan kepala mereka dan gelang kaki dari emas yang akan berbunyi kalau mereka berjalan.
‘Boleh aku ikut?’ tanyaku penuh harap.
Mereka berhenti bermain dan memandangiku. ‘Siapa kamu?’
‘Namaku Andy. Boleh ikut main?’
Mereka memandangiku lama sekali. Aku jadi tidak enak dibuatnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri di sebelahku.
‘Yang terawat dan yang tidak terawat.’ Kata salah seorang dari mereka.
Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Aku tidak mengerti apa yang mereka terwakan.
Tiba-tiba tante Akim datang dari belakangku. ‘Eh, jangan begitu anak-anak.’ Katanya. ‘Dia bukannya tidak terawat tapi dia memang keturunan tiko(12).’ Kata tante Akim sambil tersenyum sinis.
Semua saudara sepupuku tertawa lagi. Aku tetap tidak mengerti kalau akulah yang mereka tertawakan. Pada saat itulah ibu datang sambil menangis dan Iangsung membawaku pergi.
‘Kenapa, bu? Tanyaku. Tapi ibu tidak pernah menjawab. Aku baru tahu kejadian sebenarnya bertahun­-tahun kemudian kalau ternyata atas hasutan tante Akim nenek tidak mengakui ayah sebagai menantunya. Lebih parah lagi nenek dan keluarga besarnya tidak mengakui keberadaan ibu. Dan aku? Aku tidak pernah dianggap ada. Bagi mereka aku tidak Iebih dari anak haram.
‘Kenapa, An? Kok bengong?’ tanya ayahnya saat melihat Andy tidak menanggapi usulnya. ‘Nggak apa, yah.’
‘Jadi kamu mau ngomong sama tante Akim?’
‘Iya. Besok aja Iangsung ke rumahnya.’
‘Ya baguslah. Siapa tahu tante kamu punya kerjaan yang cocok buat kamu.’
‘Semoga.’
Malam itu Andy tidak bisa tidur. Menjelang subuh dia mengepak semua pakaiannya dalam sebuah tas ransel sementara sisa pakaian yang tidak muat ditinggalkannya. Sebelum pergi dia meninggalkan surat untuk ayahnya.
Ibu aku harus pergi sekarang. Aku tidak bisa berada terus di sini. Aku harus mencari tempatku di dunia ini, dimana orang tidak akan mengenalku atau mempermasalahkan darah apa yang mengalir dalam diriku. Ibu doakan semoga aku berhasil.
Andy berbalik meninggalkan makam ibunya. Matahari baru saja terbit. Andy berhenti sebentar memandangi bola gas raksasa berwarna kuning itu, lalu dengan langkah ringan dia melangkahkan kakinya menuju arah matahari terbit.
Surabaya, 15 Oktober 2009
(1) Bahasa Mandarin untuk satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan sepuluh
(2) Sebutan untuk orang Cina totok yang sudah tua
(3) Marga
(4) Apa kabar?
(5) Aku cinta kamu
(6) Tidak ada uang
(7) Aku tidak tahu
(8) Orang Cina
(9) Orang Cina
(10) Orang non Cina
(11) Dewi welas asih
(12) Orang non Cina
Cerita ini cuma rekaan pengarangnya, jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita hanya kebetulan saja :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger